Li ta’arofu, Penguat Landasan Toleransi Kehidupan Bangsa Indonesia
BANYUMAS – Konsep li ta’arofu atau saling mengenal sesungguhnya telah menjadi landasan umat Islam dalam bersosialisasi, mencegah sikap saling merendahkan atau menghina satu sama lain karena perbedaan suku, budaya, dan agama atau bahkan madzab dalam agama Islam itu sendiri.
Pernyataan tersebut disampaikan Bupati Tegal Umi Azizah saat menjadi pembicara pada acara Sarasehan Politik Kebangsaan di Gedung Kesenian Soeteja, Purwokerto, Kamis (30/06/2022).
Sarasehan yang mengangkat tema toleransi dan kebhinekaan sebagai jembatan emas kejayaan ini diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Menurutnya, Allah SWT telah menekankan dengan cetak tebal di dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan Allah menciptakan manusia dalam segala perbedaannya baik bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar kita saling mengenal. Allah pun menegaskan bahwa orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah orang yang bertakwa.
Sementara tingkat ketakwaan setiap orang berbeda-beda dan manusia tidak berhak menilai ketakwaan orang lain. Maka seorang mukmin tidak boleh merasa dirinya lebih tinggi dan tidak boleh pula merasa lebih rendah dari orang lain.
Mengutip pernyataan Helen Keler, tokoh pendidikan Amerika Serikat, Umi menjelaskan bahwa hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. Menurutnya toleransi ini merupakan prasyarat bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama, terlebih bagi bangsa Indonesia yang multi etnis, terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan.
Umi memandang, kondisi negara kepulauan dan etnis yang beragam ini menyimpan potensi perpecahan dan disintegrasi. Oleh sebab itu, para founding fathers melalui UUD 1945 telah memformulasikan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan dan Pancasila sebagai dasar negaranya.
“Melalui sila ketiga Pancasila, para pendiri bangsa ini telah menempatkan persatuan, kesatuan, serta keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan,” kata Umi.
Umi menyadari, menjaga kerukunan dan kesatuan bangsa di tengah keberagaman memang tidak mudah. Bahkan negara dengan satu ideologi atau paham yang sama seperti Somalia sebagai penganut salafi lewat gerakan wahabi-nya saja bisa terpecah, terjadi perang saudara yang berkepanjangan.
“Ini yang harus kita cegah, sebab gerakan wahabi sebagai pangkal terorisme juga telah menjadikan Indonesia sebagai target sasaran penyebaran khilafah dengan menebarkan paham radikal yang destruktif bagi keutuhan dan kerukunan antar sesama anak bangsa, termasuk mengafirkan satu sama lain, padahal sama-sama muslim,” tandasnya.
Umi pun mendukung upaya pemerintah memoderasi kehidupan beragama, mewujudkan Islam tengahan yang rahmatan lil ‘alamin sebagai langkah penting di tengah kehidupan umat Islam yang majemuk. Makna dari moderasi beragama ini sendiri bukanlah melakukan moderasi terhadap agama, tapi memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama dari sikap ekstrem atau pandangan radikal yang bertentangan dengan ikrar NKRI, Pancasila dan UUD 1945.
Perbedaan keyakinan antarumat beragama, termasuk aliran dalam Islam itu sendiri harus bisa di tempatkan sebagai sebuah kekuatan, bukan lagi ancaman, apalagi sampai memaksakan kehendak hanya karena perbedaan budaya hingga meremehkan tradisi Islam di nusantara.
Di acara yang sama, Sekertaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Sumarno berpesan agar para peserta sarasehan bisa memegang teguh Pancasila serta dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita jangan berpikir untuk mencari ideologi lain selain Pancasila yang digali dari nilai-nilai budaya bangsa yang selama bertahun-tahun sudah terbukti dan teruji mempersatukan kehidupan bangsa ini,” tutur Sumarno.
Dalam acara tersebut juga turut hadir narasumber yang lain yaitu Bupati Banyumas Achmad Husein, Habib Jafar, serta CEO Marimas Harjanto Halim.
(Red2/Umum)
Editor : Irene Indah