Tradisi Ngasa Jalawastu, Adat Sunda Wiwitan di Jawa Tengah
BREBES – Ngasa atau sedekah gunung adalah tradisi leluhur yang sampai saat ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat Kampung Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jateng.
Serka Dasro selaku babinsa setempat dari Koramil 15 Ketanggungan Kodim 0713 Brebes mengatakan, Jalawastu sendiri berjarak sekitar 33 km dari Koramil Ketanggungan, dalam waktu tempuh kurang lebih 55 menit dengan catatan jika tidak hujan.
Meski kampung yang dihuni setidaknya 145 kepala keluarga ini berlokasi di Jawa Tengah, namun masyarakat Jalawastu memiliki adat budaya Sunda Wiwitan yang berasal dari Banten dan Jawa Barat.
Walaupun warga Jalawastu sendiri semuanya beragama islam, namun mereka tetap melestarikan adat kuno warisan leluhur yang menganut Sunda Wiwitan, yakni kepercayaan hindu-budha Sunda sebelum datangnya ajaran islam yang dibawa Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga pada abad 15-16 M.
“Ngasa digelar setahun sekali untuk mempertahankan tradisi leluhur masyarakat Jalawastu. Ini merupakan ritual sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME (Batara Windu Buana pencipta alam) atas hasil bumi yang mereka nikmati,” bebernya, Rabu pagi (1/3).
Lanjutnya, tahun ini prosesi Ngasa jatuh pada tanggal 28 Februari 2023. Dalam hitungan Jawa, hari suci bagi warga Jalawastu ini jatuh setiap Selasa Kliwon mangsa kasanga (ke-9).
Upacara adat ini mulai digelar sejak pagi buta. Berbagai hasil pertanian mulai dari padi, jagung, kelapa, serta sayur-mayur lainnya, dibawa dan di arak dari Balai Kampung Jalawastu menuju Gedong Pesarean, yaitu tempat keramat yang terletak di hutan adat di atas Kampung Jalawastu (puncak Gunung Sagara).
Setelah sampai di Gedong Pesarean, seorang tetua adat membacakan mantera berbahasa Sunda. Kemudian dilanjutkan pembacaan doa sebagai bentuk syukur atas hasil bumi yang mereka nikmati, dan diakhiri dengan makan bersama dengan menu nasi jagung dan sayur-sayuran.
“Gedong Pesarean sangat disakralkan oleh warga sehingga disebut juga Dayeuh Lemah Kaputihan (tanah suci tempat tinggal dewa-dewi) sehingga ada pantangan untuk tidak berkata kotor disana. Di tempat ini juga ada pohon besar (huludayeuh) yang dijadikan sebagai tempat pemujaan,” sambungnya.
Menurut Dasro, walaupun Jalawastu berada di pelosok dan seolah terisolasi dari dunia luar, namun masyarakatnya tidak menutup kunjungan dari tamu luar sehingga menjadi salah satu agenda wisata adat dan budaya di Kabupaten Brebes.
Sementara dijelaskan Wijanarto, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes yang merupakan sejarawan Pantura, bahwa yang menarik dalam upacara itu adalah perjamuan makannya tanpa nasi dan lauk-pauk.
Untuk makanannya yaitu berupa nasi jagung yang dicampur umbi-umbian atau dedaunan yang direbus. Makanan itu juga disajikan tanpa piring maupun gelas berbahan kaca. Warga menggunakan piring enamel, piring plastik, atau dedaunan. Pasalnya, seluruh perabotan yang terbuat dari bahan kaca dan keramik tidak diperbolehkan di Jalawastu.
“Ditilik dari sejarahnya, upacara Ngasa sudah ada sejak masyarakat zaman Hindu-Buddha yang menganut agama Sunda Wiwitan. Hal ini bisa dilihat dari pakaian adat peserta upacara dan bacaan puji-pujian bagi dewa yang mirip dengan budaya Suku Baduy atau Sunda Badui,” bebernya.
Kemudian dikatakan Julianus Limbeng, selaku Wakil Direktorat Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI yang juga hadir dalam upacara Ngasa Jalawastu, bahwa pihaknya mendukungan penguatan lembaga adat dan ritual adat Jalawastu agar bisa memiliki hak pengelolaan hutan adat seluas 64,9 hektar.
Untuk diketahui juga, karena Kampung Jalawastu berada di lereng bukit yang rawan longsor, maka bangunan rumah-rumah disini terbuat dari papan (dinding) dan seng sebagai atap. Warga masih teguh memegang tradisi leluhur mereka, dengan tidak membangun rumah dari bahan semen, lantai keramik, dan atap genteng (rumah permanen).
Dulunya, karena letak kampung yang jauh dari peradaban sehingga membuat semen, keramik, dan genteng menjadi bahan bangunan yang sangat mewah. Selain sangat sulit untuk didapatkan, untuk mengangkat/memikul bahan-bahan bangunan itu juga sangat kesulitan dengan medan terjal dan jarak puluhan kilometer dari perkampungan. Akhirnya leluhur mereka menganggap sebagai pamali/pantangan.
Selain wisata adat tersebut, di Jalawastu juga ada wisata alami Curug Rambukasang, tempat pemancingan, dan oleh-oleh hasil bumi berupa pete, durian, dan nangka.
Seiring masuknya ajaran islam pada abad 15 M yang disyiarkan oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga, keyakinan Sunda Wiwitan berakulturasi dengan islam (islam kejawen). Dua bukti akulturasi hindu-budha-islam di Jalawastu yakni sampai sekarang masih ada pagelaran Perang Centong atau perang dengan senjata berupa sendok nasi dari bahan kayu.
Perang ini menggambarkan adu kesaktian antara dua orang jawara Jalawastu, yaitu Gandasari (keyakinan lama) dan Gandawangi (keyakinan baru). Di perang centong itu Gandawangi memenangkan perang sehingga akhirnya keyakinan baru (islam) diterima, namun tetap menjunjung keyakinan lama.
Bukti kedua adalah Upacara Ngasa, dimana bacaan mantranya merupakan campuran antara doa islam dan Sunda Wiwitan.
Ritual Tundan adalah ritual warga Jalawastu untuk mengusir hama tikus agar tidak merusak tanaman mereka. Awalnya warga menangkap sepasang tikus, kemudian dibacakan mantra oleh pawang dan akhirnya sepasang tikus itu dilepas ke hutan dengan maksud tikus-tikus lainnya mengikutinya pergi ke hutan.
Ritual Minta Hujan ini dilakukan di Curug Rambukasang. Warga membawa gayung, ember, dan tempat air lainnya, kemudian mereka mengguyur kepala desa mereka di curug ini dengan maksud agar langit menjadi mendung dan segera turun hujan.
Dikemukakan Widodo (Kliwon) selaku pemangku adat di Jalawastu, warganya memiliki pantangan-pantangan unik yaitu dilarang untuk memelihara ternak seperti angsa, domba, dan kerbau, dengan alasan dianggap mengotori lingkungan.
Kemudian dilarang menanam bawang merah karena nantinya akan merugi. Alasannya, selain lahannya tidak cocok juga karena udara di wilayah Desa Ciseureuh bisa sangat dingin disaat musim penghujan.
Berbeda dengan di wilayah Brebes lainnya yang mendapatkan hembusan angin kumbang (jenis angin fohn) disaat musim kemarau. Angin yang cukup sejuk dan berasal dari lereng Gunung Kumbang ini sangat cocok untuk tanaman bawang merah dan cabe.
Larangan selanjutnya adalah pementasan wayang karena berkaitan dengan memainkan peran manusia. Jadi tidak ada yang berani melanggar pamali itu karena warga percaya akan mendapatkan musibah. Itu merupakan keyakinan Sunda Wiwitan yang juga mengajarkan kasih sayang kepada makhluk hidup, baik itu sesama manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Itulah berbagai wisata dan mitos atau keyakinan masyarakat Jalawastu yang masih terpelihara sampai saat ini. Masyarakat yang terus menjaga alam sebagai sumber penghidupan dan setia mempertahankan warisan leluhur walaupun kini sudah zaman globalisasi. (Red3/Seni&Budaya)
Editor : Irene Indah